“Peran Psikologi Forensik dalam
penerapan Restorative Justice dan Viktimologi”
Sejak lama telah dikenal istilah kriminologi yaitu ilmu tentang
kejahatan atau yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (W.A.
Bonger). Merupakan ilmu yang menitikberatkan pada pengetahuan tentang perbuatan
kejahatan sebagai gejala sosal dan mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi
atas perlindungan hukum ( Sutherland). Ruang lingkup pembahasannya lebih banyak
kepada bagaimana sebuah sistem peradilan pidana itu dapat berjalan untuk
menghukum pelaku, mempertimbangkan pembelaan terhadap pelaku dan banyak hal
yang masih berorientasi pada pelaku. Sementara itu, bagaimana perlindungan
terhadap korban masih sangat minimal. Hal-hal yang terkait dengan korban
dibahas dalam ranah viktimologi. Studi viktimologi terkait dengan kepribadian
korban (Mendelson); terkait interaksi korban – pelaku (Hentig). Konsekuensi
logis dari meningkatnya kejahatan atau kriminalitas adalah bertambahnya jumlah
dan jenis korban. Oleh karena itu penuangan kebijakan yang berpihak pada kepentingan
korban dan tanpa mengesampingkan pelaku menjadi mutlak untuk dilakukan,
sehingga studi tentang viktimologi menjadi perlu untuk dikembangkan (Arif
Gosita)
Perlindungan bagi korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana mendapatkan
perhatian yang lebih maju sejak Kongres PBB VII/1985 di Milan tentang “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” yang
mengemukakan, bahwa hak-hak korban seharusnya dilihat sebagai bagian integral
dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights should be
perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”). Lebih lanjut, perhatian masyarakat internasional
mengenai tema perlindungan bagi korban kejahatan terumuskan dalam satu
deklarasi PBB yakni Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power” Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985, tanggal
6 September 1985. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power juga dinyatakan beberapa hak-hak pokok
korban kejahatan yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara
yakni :Pertama, hak korban atas tersedianya mekanisme keadilan dan
memperoleh ganti rugi dengan segera; Kedua, hak korban
atas
informasi mengenai hak-haknya dalam mengupayakan ganti rugi dan memperoleh
informasi kemajuan proses hukum yang berjalan termasuk ganti kerugian; Ketiga,
hak korban untuk menyatakan pandangan dan memberikan pendapat; Keempat, hak korban
atas
tersedianya bantuan selama proses hukuman dijalankan; Kelima, hak korban atas
perlindungan dari gangguan/intimidasi/tindakan balasan dari pelaku,
perlindungan kebebasan pribadi dan keselamatan baik pribadi maupun keluarganya;
dan Keenam, hak korban atas mekanisme/proses keadilan yang cepat dan
sederhana/tidak adanya penundaan.
Di Indonesia, perhatian untuk menempatkan korban kejahatan dalam
proses peradilan pidana secara adil untuk bersinggungan dengan aktor lain dalam
proses peradilan pidana sebenarnya sudah dimulai sejak dibentuknya KUHAP, yakni
adanya mekanisme ganti kerugian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 98
KUHAP. Dengan berlakunya
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan legitimasi
secara hukum kepada LPSK sebagai institusi yang
diperintahkan undang-undang untuk memfasilitasi korban kejahatan untuk memperoleh
keadilan melalui bentuk-bentuk perlindungan termasuk
didalamnya adalah fasilitasi pengajuan permohonan restitusi dan kompensasi
serta memberikan layanan bantuan medis, layanan bantuan
rehabilitasi psiko-sosial bagi korban kejahatan khususnya pelaggaran ham yang
berat.
Adanya perhatian yang serius untuk memberikan ruang bagi korban
kejahatan pelanggaran HAM yang berat, merupakan perwujudan konsep yang maju
dimana negara memiliki kewajiban untuk melakukan upaya-upaya pemulihan bagi
korban. Kewajiban untuk memberikan
pemulihan (reparation) kepada korban merupakan tanggung jawab negara yang telah
diatur secara lengkap dalam berbagai instrumen hak asasi dan ditegaskan dalam
putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia internasional
maupun regional. Kewajiban ini
diakibatkan oleh pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum hak asasi
manusia internasional yang memberikan hak kepada individu atau kelompok yang
menjadi korban dalam wilayah negara itu untuk mendapatkan penanganan hukum yang
efektif dan pemulihan yang adil, sesuai dengan hukum internasional.
Disamping itu berkembang pula konsep restorative justice dengan pendekatannya yang khas dalam
memfasilitasi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana (khususnya anak) serta korbannya. Undang - Undang Sistem Peradilan Anak yang telah
disahkan pada bulan Juli tahun 2012 sebagai perubahan Undang - Undang No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memuat isu yang salah satunya adalah
tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 tahun bisa didiversi atau diselesaikan
diluar proses hukum serta mewajibkan pendekatan keadilan restoratif dimana
melibatkan pelaku (Anak Berhadapan Hukum), keluarga korban, orang tua pelaku
dan pihak lain yang terkait dengan motivasi untuk mengutamakan penyelesaian
masalah secara bersama-sama tanpa mengedepankan pembalasan. Diversi juga wajib
diupayakan disetiap proses hukum oleh penegak hukum dengan dituangkan didalam
kesepakatan Diversi dan pelaksanaannya diawasi oleh penegak hukum. Namun
demikian, dalam penerapannya pendekatan restorative
justice ini rentan pemaknaan yang bersifat subyektif, sehingga justru dapat
menimbulkan kondisi yang tidak seimbang bagi pelaku maupun korban, dan biasanya
korbanlah yang mengalami reviktimisasi. Dibutuhkan sebuah kajian psikologis
mengenai penerapan restorative justice dan peran psikologi di dalamnya.
Tema Temu ilmiah APSIFOR V ini diangkat dalam
rangka memberikan masukan peran psikologi dalam penerapan Restorative
Justice dan viktimologi. Psikologi dapat berperan dalam proses peradilan
pidana sejak di penyelidikan kepolisian hingga di BAPAS, baik pada pelaku,
saksi maupun korban. Pada penerapan restorative justice, psikologi dapat
berperan saat terjadi mediasi, membantu mencari solusi terbaik bagi pelaku,
maupun korban. Psikologi perlu membuat asesmen terhadap pelaku, apakah pelaku
mengalami gangguan psikologis yang ringan sd berat. Pada saksi maupun korban,
apakah saksi/korban mengalami gangguan psikologis akibat perbuatan pidana yang
mengenainya. Psikologi juga dapat memberikan intervensi pada pelaku, korban
maupun saksi. Pada UU peradilan anak 2012 belum memiliki aturan operasional
yang jelas, lembaga mana yang
bertanggungjawab akan rehabilitasi/intervensi terhadap pelaku. Rehabilitasi
psikologis dan sosial seperti apa dan siapa yang bertanggung jawab?
Hak-hak korban lain yang diatur dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Saksi dan Korban adalah pemberian bantuan medis dan bantuan
rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 8
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yakni “Perlindungan saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaiamana diatur dalam
undang-undang ini”. Adalah jelas
bahwa psikologi melalui psikolog dan ilmuwan psikologi memiliki peran penting
dalam menjalankan amanat UU Perlindungan Saksi dan korban, khususnya dalam
bantuan rehabilitasi psikososial serta dampingan psikologis bagi saksi dan
korban.
Temu Ilmiah Apsifor V ini bertujuan untuk
mempertegas peran psikologi forensik dalam penerapan restorative justice, dan
viktimologi. Selama ini Apsifor telah berperan aktif dalam proses pemberian
layanan psikososial bagi korban dan saksi baik bersama LPSK maupun lembaga
lainnya seperti di proses penyidikan kepolisian sampai ke proses persidangan.
---------------------------------------
Informasi: